Kamis, 14 April 2011

Artikel Dari Samir Khan [Pengelola Majalah Al Qoidah INSPIRE]

Saya ingat hari-hari di mana saya mempelajari karya para ulama, pemikir, pegiat masyarakat Islam dan sejenisnya, yang menjajakan pemikiran mereka soal mengapa alasan terorisme (yakni jihad) begitu lemah. Mereka akan berpanjang lebar soal isu-isu seperti pembajakan, penculikan, bom 'bunuh diri', pembunuhan atas orang-orang yang bukan tentara dan sebagainya demi membuktikan bahwa jihad al Qaeda melawan Amerika tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang agama. Sebagian bahkan sampai mengatakan bahwa al Qaeda bukanlah orang-orang Muslim; dan kemudian mencap mereka sebagai takfiri! Semua ini membuat saya risau sebagai seorang Muslim yang tinggal di Amerika. Orang-orang Muslims begitu disudutkan untuk membela identitas mereka di depan orang-orang non-Muslim seputar hal-hal sebagaimana yang saya sebutkan di atas, hingga sudah lumrah dari mulai mimbar-mimbar California sampai terowongan Ground Zero bila orang berbicara tentangnya dengan nada mengutuk dan pembelaan. Yang saya rasakan adalah bahwa permasalahan utama – apa yang sebenrnya membuat seorang jihadi menjadi dirinya yan
g sekarang – tidak pernah mendapat perhatian entah di lingkar studi masjid ataupun diskusi politik di siaran langsung televisi. Permasalahan utama ini, sebagaimana suka saya sebut, merupakan poros dari apa yang menjadikan seorang Muslim memulai perjalanannya sebagai seorang jihadi. Bukan, bukan pembantaian massal atas rakyat Palestina oleh orang-orang Israel bukan pula tindakan kejam Amerika terhadap dunia Islam. Bukan nasyid-nasyid jihad juga bukan film-film jihad. Poros itu tidak sebagaimana Anda pikirkan karena alasan permasalahan utama tersebut sepenuhnya berbasis agama dan fiqih. Permasalahan utamanya adalah bahwa jihad merupakan kewajiban individu (fardu 'ain) atas semua Muslims dari Timur sampai Barat sampai semua tanah kita terbebas. Permasalahan jihad sebagai kewajiban fardu 'ain merupakan titik tumpu jihad modern. Dunia tengah menyaksikan bangkitnya punggawa jihad disebabkan oleh fakta bahwa orang-orang Islam mulai menyadari permasalahan pokok ini, dan oleh karenanya menjadi kewajiban mereka kepada Allah.

Permasalahan ini dimunculkan kembali oleh ulama yang disebut-sebut sebagai 'the godfather of jihad', Ulama Islam Abdullah Yusuf Azzam, semoga Allah merahmatai beliau. Pengemukaan kembali permasalahan tersebut oleh beliau inilah yang membuat ribuan pejuang asing datang ke Afghanistan untuk mendukung saudara-saudara mereka asal Afghanistan melawan Uni Soviet. Beliaulah satu-satunya alasan bagi bangkitnya apa yang saat ini kita kenal sebagai jihad global. Ulama-ulama lain seperti Dr. Ayman al-Zawahiri hadir hanya untuk mengembangkan prinsip-prinsip tertentu[1]. Karya-karya beliau dipenuhi dengan hukum-hukum permasalahan utama ini. Yang paling terkenal dari karya-karya tersebut adalah "Mempertahankan Wilayah Islam: Kewajiban pertama setelah iman". Ia merupakan fatwa yang diajukannya di Arab Saudi kepada delegasi para ahli fiqih dan ulama Islam termasuk Syaikh Ibn Utsaimin dan Syaikh Bin Baz, dan semuanya menyepakati sahnya fatwa beliau tersebut. Fatwa beliau dibanjiri pembahasan banyak ulama terdahulu tentang bahasan jihad defensif (jihad ad-daf'); yakni, bagaimana Islam menanggapi ketika musuh asing menyerang negara Islam, bahkan meski hanya sejengkal tanah. Fatwa tersebut mengutip ulama-ulama terdahulu yang mengatakan bahwa pertama ia menjadi kewajiban individu bagi orang-orang di daerah tersebut. Bila mereka tidak mampu memukul mundur musuh, maka kewajiban tersebut meluas pada suatu radius, ke negara-negara Muslim tetangga. Bila mereka juga tidak mampu, maka radius ini terus meluas sampai ia menjadi kewajiban individu dari Barat hingga Timur; setiap orang Islam yang meninggalkan kewajiban ini sementara mereka mampu berpartisipasi maka ia menanggung dosa. Saat Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam hidup, terjadi peperangan Tabuk. Peperangan ini merupakan jihad yang dikategorikan ke dalam jihad defensif dan menjadi kewajiban individu atas orang-orang Madina. Orang-orang yang menggunakan alasan lemah supaya bisa tinggal di belakang dikenal sebagai orang-orang munafik di tengah-tengah masyarakat; loyalitas mereka terhadap Islam dipertanyakan. Argumen yang disampaikan Dr. Azzam adalah bahwa kewajiban ini dimulai semenjak jatuhnya Andalusia. Saat ini, banyak wilayah kita yang diduduki kekuatan asing. Oleh karena itu, kewajiban ini pun telah berkembang secara signifikan saat ini.

Di sepanjang buku tersebut, Dr. Azzam membantah berbagai alasan yang diajukan orang-orang saat ini seperti berperang di tengah-tengah orang yang fasiq, permasalah kewajiban bersama (fardu kifayah), dan berperang tanpa ijin dari penguasa. Kemudian, ulama-ulama lainnya[2] telah memperluas lingkup bantahan hingga mencakup alasan seperti musuh lebih unggul baik kekuatan maupun jumlahnya, permasalahan pemerintah di wilayah-wilayah Islam yang telah menjalin ‘akad’ dengan orang-orang kafir, dan kasus orang-orang yang menyatakan supaya kita terlebih dahulu belajar di madrasah-madrasah Islam selama bertahun-tahun dan agar kita lebih banyak melakukan tazkiyyatun nafs (penyucian jiwa), dan sebagainya.

Kemudian satu kejadian penting pun terjadi.

Gagasan untuk membela wilayah Islam dari kekuatan pendudukan kafir kini punya makna baru. Gagasan ini merupakan gagasan yang mengawali jalan bagi Organisasi al Qaeda.

Ahli fiqh dan pemikir Mujahidin dari Mesir yang punya pengalaman paling lama dan paling berat dalam mengusahakan penegakan kembali negara Islam di Mesir, mengekspor gagasan bahwa pemerintah-pemerintah yang disebut-sebut sebagai pemerintah Islam di wilayah Islam pada kenyataannya juga merupakan kekuatan pendudukan. Hanya ketika dan sampai mereka benar-benar dijungkalkan, maka orang-orang Islam akan tetap hidup di negara pendosa yang sama dengan pasukan kafir asing yang menduduki wilayah Islam.

Gagasan ini berasal dari fikih tentang bagaimana kita harus bersikap dengan orang murtad. Hukum Islam memberi hukuman mati bagi orang-orang yang meninggalkan agama ini[3]. Orang yang murtad diputuskan melalui tindakan yang tengah dilakukannya secara terang-terangan. Misalnya, bila ia menjadi Kristen, atau mata-mata terhadap orang-orang Muslims bagi orang-orang kafir, atau pun bersama kumpulan musuh untuk memerangi kaum Muslim dan sebagainya, maka dia telah melakukan kekufuran besar (kufr akbar) sebagaimana dinyatakan jumhur. Para ulama telah menjelaskan setidaknya sepuluh tindakan utama yang akan mengakibatkan murtadnya seseorang[4]. Kita harus berhati-hati agar tidak menganggap seseorang keluar dari lingkaran Islam (yakni takfir) pada dosa-dosa besar seperti meminum khamr, melakukan zina, mencuri dan selainnya kecuali bila ia penguasa yang dengan terang-terangan mengijinkan dosa-dosa ini di bawah kekuasaannya (yakni, istihlal). Khawarij punya akidah ekstrim yang menyertakan semua orang-orang yang berbuat dosa ke dalam kategori kemurtadan. Segala puji bagi Allah, mujahidin saat ini sama sekali tidak seperti ini.

Mujahidin Mesir menyatakan bahwa para penguasa di wilayah-wilayah Islam merupakan orang-orang murtad disebabkan oleh dua alasan. Dua alasan ini antara lain tidak dilaksanakannya syariat, dan mengambil orang-orang kafir sebagai penolong dan penjaga (auliya') terhadap kaum Muslim. Alasan pertama menyiratkan permasalahan istihlal, yakni, pengharaman atas apa yang Allah halalkan dan sebaliknya. Selain itu, tampak pula bahwa mereka berkuasa dengan menerapkan hukum-hukum buatan manusia yang mencakup unsur Demokrasi[5], Jahiliyyah[6], dan bentuk-bentuk hukum pinjaman lainnya[7].


[1] Akan kita bahas secara ringkas.
[2] Beberapa ulama tersebut antara lain Nasir bin Hamad al-Fahd, Anwar Sya’ban, Yusuf al-Uyairi, Abu Qatadah al-Filistini, Abu Yahya al-Libi, Hamud bin Uqla ash-Syu’aibi.
[3] Anehnya, hal ini menjadi perseteruan sengit di antara ummat Islam beberapa tahun belakangan. Pihak yang mengklaim bahwa hal ini tidaklah benar menggunakan ayat-ayat Al Qur’an yang sama sekali tidak berhubungan pembahasan kemurtadan dalam Islam dan tidak mampu menjelaskan hadits-hadits shahih tentang subjek sepertu “Siapa saja yang mengganti agamanya, maka bunuh dia” [al-Bukhari Jilid 9, Kitab 84, No. 57]. Mereka juga tidak mampu menjelaskan peperangan terhadap kemurtadan yang diperangi oleh Abu Bakar dan para Sahabat.
[4] Lihat “Pembatal Keislaman” oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan semua penjabaran berbeda yang tersedia untuk panduan itu seperti dari Syaikh Abu Basir at-Tartusi.
[5] Pertanyaan tentang Demokrasi merupakan subjek tersendiri dan telah menyebabkan kebingungan besar dan salah konsepsi di dunia Islam dikarenakan tujuannya. Bantahan yang bagus dari bentuk kekuasaan ini dapat ditemukan di dalam buku ‘Demokrasi: suatu Agama’ oleh Syaikh Al Maqdisi dan karya-karya dan terjemahan At Tibyan Publication tentang Demokrasi.
[6] Jaman kebodohan sebelum Islam.
[7] Lihat kitab-kitab Imam Ibn Katsir dan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah tentang kafirnya penerapan al-Yasiq dan penerapan penghakiman rakyat dengan kombinasi hukum-hukum pinjaman secara umum.
(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar